Banayk yang mengira kalau mempunyai wajah yang cantik itu banyak yang suka dan menguntungkan, emang sih para lelaki suka curi pandang terhadap diriku,malah aku tak menginginkan hal tersbut kalau aku itu cantik dengan tinggi 165 cm berat badan ideal malah hal itu menjadi kebalikan bagiku , itu semua menjadi bencana bagiku.
Bagaimana tidak bencana. Karena postur tubuh dan wajah yang bisa dinilai delapan, aku beberapa kali mengalami percobaan pemerkosaan. Paling awal ketika aku masih duduk di bangku esempe kelas tiga. Aku hampir saja diperkosa oleh salah seorang murid laki-laki di toilet.
Murid laki-laki yang ternyata seorang alkoholik itu kemudian dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Tapi akupun akhirnya pindah sekolah karena masih trauma.
Di sekolah yang baru pun aku tak bisa tenang karena salah seorang satpamnya sering menjahilin aku. Kadang menggoda-goda, bahkan pernah sampai menyingkap rokku ke atas dari belakang. Sampai pada puncaknya, aku digiring ke gudang sekolah dengan alasan dipanggil oleh salah seorang guru.
Untung saja waktu itu seorang temanku tahu gelagat tak beres yang tampak dari si Satpam brengsek itu. Ia dan beberapa teman lain segera memanggil guru-guru ketika aku sudah mulai terpojok. Aku selamat dan satpam itu meringkuk sebulan di sel pengap.
Dua kali menjadi korban percobaan pemerkosaan, orang tuaku segera mengadakan upacara ruwatan. Walaupun papa mamaku bukan orang Jawa tulen (Tionghoa), tapi mereka percaya bahwa upacara ruwatan bisa menolak bahaya.
Selama dua tahun aku baik-baik saja. Tak ada lagi kejadian percobaan pemerkosaan atas diriku. Hanya kalau colak-colek sih memang masih sering terjadi, tapi selama masih sopan tak apalah. Tapi ketika aku duduk di bangku kelas tiga esemu. Kejadian itu terulang lagi.
Teman sekelasku mengajakku berdugem ria ke diskotik. Aku pikir tak apalah sekali-kali, biar nggak kuper. Ini kan Jakarta, pikirku saat itu. Aku memang tak ikut minum-minum yang berbau alkohol, tapi aku tak tahu kalau jus jeruk yang aku pesan telah dimasuki obat tidur oleh temanku itu. Waktu dia menyeretku ke mobilnya aku masih sedikit ingat.
Waktu dia memaksa menciumku aku juga masih ingat. Lalu dengan segala kekuatan yang tersisa aku berusaha berontak dan menjerit-jerit minta tolong. Aku kembali beruntung karena suara teriakanku terdengar oleh security diskotik yang kemudian datang menolongku.
Sejak itu aku merasa tak betah tinggal di Jakarta. Akhirnya aku segera dipindahkan ke Yogyakarta, tinggal bersama keluarga tanteku sambil terus melanjutkan sekolah. Awalnya ketenangan mulai mendatangiku.
Hidupku berjalan secara wajar lurus teratur. Tanpa ada gangguan yang berarti, apalagi gangguan kejiwaan tentang trauma perkosaan. Aku sibuk sekolah dan juga ikutan les privat bahasa Inggris.
Tapi memasuki bulan kelima peristiwa itu benar-benar terjadi. Aku benar-benar diperkosa. Dan yang lebih kelewat batas. Bukannya lelaki yang memperkosaku, tapi wanita. Yah, aku diperkosa lesbian!! Dan lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah guru privatku sendiri.
Namanya Jeni . Umurnya 25 tahun, tujuh tahun diatasku. Ia orang Wales yang sudah tujuh tahun menetap di Indonesia. Jadi Jeni, begitu aku memanggilnya, cukup fasih berbahasa Indonesia. Jeni tinggal tak sampai satu kilometer dari tempatku tinggal. Aku cukup berjalan kaki jika ingin ke rumah kontrakannya.
Kejadian itu bermula pada saat aku datang untuk les privat ke tempat Jeni. Kadangkala aku memang datang ke tempat Jeni kalau aku bosan belajar di rumahku sendiri, itupun kami lakukan dengan janjian dulu.
Sebelum kejadian itu aku tidak pernah berpikiran macam-macam ataupun curiga kepada Jeni. Sama sekali tidak! Memang pernah aku menangkap basah Jeni yang memandangi dadaku lekat-lekat, pernah juga dia menepuk pantatku. Tapi aku kira itu hanya sekedar iseng saja.
Siang itu aku pergi ke tempat Jeni. Ditengah jalan tiba-tiba hujan menyerang bumi. Aku yang tak bawa payung berlari-lari menembus hujan. Deras sekali hujan itu sampai-sampai aku benar-benar basah kuyup.
Sampai di rumah Jeni dia sudah menyongsong kedatanganku. Heran aku karena Jeni masih mengenakan daster tipis tak bermotif alias polos. Sehingga apa yang tersimpan di balik daster itu terlihat cukup membayang. Lebih heran lagi karena Jeni menyongsongku sampai ikut berhujan-hujan.
“Aduh Mel, kehujanan yah? Sampai basah begini..” sambutnya dengan dialek Britishnya.
“Jeni, kenapa kamu juga ikut-ikutan hujan-hujanan sih, jadi sama-sama basah kan.”
“Nggak apa-apa nanti saya temani you sama-sama mengeringkan badan.”
Kami masuk lewat pintu garasi. Jeni mengunci pintu garasi, aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Bahkan ketika aku diajaknya ke kamar mandinya, aku juga tak punya rasa curiga. Kamar mandi itu cukup luas dengan perabotan yang mahal, walau tak semahal milik tanteku.
Di depanku nampak cermin lebar dan besar sehingga tubuh setiap orang yang bercermin kelihatan utuh.
“Ini handuknya, buka saja pakaian you. Aku ambilkan baju kering, nanti you masuk angin.”
Jeni keluar untuk mengambil baju kering. Aku segera melepas semua pakaianku, kecuali CD dan BH lalu memasukkannya ke tempat pakaian kotor di sudut ruangan.
“Ini pakaiannya,”
Aku terperanjat. Jeni menyerahkan baju kering itu tapi tubuh Jeni sama sekali tak memakai selembar kain pun. Aku tak berani menutup muka karena takut Jeni tersinggung.
Tapi aku juga tak berani menatap payudara Jeni yang besar banget. Kira-kira sebesar semangka dan nampak ranum banget, tanda ingin segera dipetik. Berani taruhan, milik Jeni nggak kalah sama milik si superstar Pamela Anderson.
“Lho kenapa tidak you lepas semuanya?” tanya Jeni tanpa peduli akan rasa heranku.
“Jeni, kenapa kamu nggak pakai baju kayak gitu sih?”
Jeni hanya tersenyum nakal sambil sekali-sekali memandang ke arah dadaku yang terpantul di cermin. Kemudian Jeni melangkah ke arahku. Aku jadi was-was, tapi aku takut. Aku kembali teringat pada peristiwa percobaan pemerkosaanku.
Jeni berdiri tegak di belakangku dengan senyum mengembang di bibir tipisnya. Jemarinya yang lentik mulai meraba-raba mengerayangi pundakku.
“Jeni! Apa-apaan sih, geli tahu!”
Aku menepis tangannya yang mulai menjalar ke depan. Tapi secepat kilat Jeni menempelkan pistol di leherku. Aku kaget banget, tak percaya Jeni akan melakukan itu kepadaku.
“Jeni, jangan main-main!” aku mulai terisak ketakutan.
“It’s gun, Mel and I tak sedang main-main. Aku ingin you nurut saja sama aku punya mau.” Ujar Jade mendesis-desis di telinga Jade.
“Maumu apa Jeni?”
“Aku mau sama ini.. ini juga ha..ha..”
“Auh..”
Seketika aku menjerit ketika Jeni menyambar payudaraku kemudian meremas kemaluanku dengan kanan kirinya. Tahulah aku kalau sebenarnya Jeni itu sakit, pikirannya nggak waras khususnya jiwa sex-nya. Buah dadaku masih terasa sakit karena disambar jemari Jeni. Aku harus berusaha menenangkan Jeni.
“Jeni ingat dong, aku ini Mela. Please, lepaskan aku..”
“Oh.. baby, aku bergairah sekali sama you.. oh.. ikut saja mau aku, yah..” Jeni mendesah-desah sambil menggosok-gosokkan kewanitaannya di pantatku. Sedangkan buah dadanya sudah sejak tadi menempel hangat di punggungku. Matanya menyipit menahan gelegak birahinya.
“Jeni, jangan dong, jangan aku..”
Muka Jeni merah padam, matanya seketika terbelalak marah. Nampaknya ia mulai tersinggung atas penolakanku. Ujung pistol itu makin melekat di dekat urat-urat leherku.
“You can choose, play with me or.. you dead!”
Aah.. Dadaku serasa sesak. Aku tak bisa bernafas, apalagi berfikir tenang. Tak kusangka ternyata Jeni orang yang berbahaya.
“Okey, okey Jeni, do what do you want. Tapi tolong, jangan sakiti aku please..” rintihku membuat Jeni tertawa penuh kemenangan.
Wajah wanita yang sebenarnya mirip dengan Victoria Beckham itu semakin nampak cantik ketika kulit pipinya merah merona. Jeni meletakkan pistolnya di atas meja. Kemudian dia mulai menggerayangiku.
Jeni mulai mencumbui pundakku. Merinding tubuhku ketika merasakan nafasnya menyembur hangat di sekitar leherku, apalagi tangannya menjalar mengusap-usap perutku. Udara dingin karena CD dan BHku yang basah membuatku semakin merinding.
Jemari Jade yang semula merambat di sekitar perut kini naik dan semakin naik. Dia singkapkan begitu saja BHku hingga kedua bukit kembarku itu lolos begitu saja dari kain tipis itu. Setiap sentuhan Jade tanpa sadar aku resapi, jiwaku goyah ketika jari-jari haus itu mengusap-usap dengan lembut.
Aku tak tahu kalau saat itu Jade tersenyum menang ketika melihatku menikmati setiap sentuhannya dengan mata tertutup.
“Ah.. ehg.. gimana baby sweety, asyik?” kata Jeni sambil meremas-remas kedua buah dadaku.
“Engh..” hanya itu yang bisa aku jawab. Deburan birahiku mulai terpancing.
“Engh..” aku mendongak-dongak ketika kedua puting susuku diplintir oleh Jeni “Juude..ohh..”
Aku tak tahan lagi kakiku yang sejak tadi lemas kini tak bisa menyangga tubuhku. Akupun terjatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Jeni langsung saja menubrukku setelah sebelumnya melucuti BH dan CDku. Kini kami sama-sama telah telanjang bagai bayi yang baru lahir.
“You cantik banget Mel, ehgh..” Jeni melumat bibirku dengan binal.
“Balaslah Mel, hisaplah bibirku.”
Aku balas menghisapnya, balas menggigit-gigit kecil bibir Jeni. Terasa enak dan berbau wangi. Jeni menuntun tanganku agar menyentuh buah dadanya yang verry verry montok. Dengan sedikit gemetar aku memegang buah dadanya lalu meremas-remasnya.
“Ah.. ugh.. Mel, oh..” Jeni mendesis merasakan kenikmatan remasan tanganku. Begitupun aku, meletup-letup gairahku ketika Jeni kembali meremas dan memelintir kedua bukit kembarku.
“Teruslah Mel, terus ..”
Lalu Jeni melepaskan ciumannya dari bibirku.
“Agh.. Oh.. Juude..”
Aku terpekik ketika ternyata Jeni mengalihkan cumbuannya pada buah dadaku secara bergantian. Buah dadaku rasanya mau meledak.
“Ehg.. No!!” teriakku ketika jemari Jeni menelusuri daerah kewanitaanku yang berbulu lebat.
“Come on Girl, enjoy this game. Ini masih pemanasan honey..”
Pemanasan dia bilang? Lendir vaginaku sudah mengucur deras dia bilang masih pemanasan. Rasanya sudah capek, tapi aku tak berani menolak. Aku hanya bisa pasrah menjadi pemuas nafsu sakit Jeni. Walau aku akui kalau game ini melambungkan jiwaku ke awang-awang.
Jeni merebahkan diri sambil merenggangkan kedua pahanya. Bukit kemaluannya nampak jelas di pangkal paha. Plontos licin. Lalu Jeni memintaku untuk mencumbui vaginanya. Mulanya aku jijik, tapi karena Jeni mendorong kepalaku masuk ke selakangannya akupun segera menciumi kewanitaan Jeni.
Aroma wangi menyebar di sekitar goa itu. Lama kelamaan aku menciuminya penuh nafsu, bahkan makin lama aku makin berani menjilatinya. Juga mempermainkan klitnya yang mungil dan mengemaskan.
“Ahh.. uegh..” teriak Jeni sedikit mengejan.
Lalu beberapa kali goa itu menyemburkan lendir berbau harum.
“Mel, hisap Mel.. please..” rengek Jeni.
Sroop.. tandas sudah aku hisap lendir asin itu.
Suur.. kini ganti vaginaku yang kembali menyemburkan lendir kawin.
“Jeni aku keluar..” ujarku kepada Jeni.
“Oya?” Jeni segera mendorongku merebah di lantai. Lalu kepalanya segela menyusup ke sela-sela selakanganku.
Gadis bule itu menjilati lendir-lendir yang berserakan di berbagai belantara yang tumbuh di goa milikku. Aku bergelinjangan menahan segala keindahan yang ada. Jeni pandai sekali memainkan lidahnya. Menyusuri dinding-dinding vaginaku yang masih perawan.
“Aaah..” kugigit bibirku kuat kuat ketika Jeni menghisap klit-ku, lendir kawinkupun kembali menyembur dan dengan penuh nafsu Jeni menghisapinya kembali.
“Mmm.. delicious taste.” Gumamnya.
Jeni segera memasukkan batang dildo yang aku tak tahu dari mana asalnya ke dalam lubang kawinku.
“Ahh..!! Jeni sakit..”
“Tahan sweety.. nanti juga enak..”
Jeni terus saja memaksakan dildo itu masuk ke vaginaku. Walaupun perih sekali akhirnya dildo itu terbenam juga ke dalam vaginaku. Jeni menggoyang-goyangkan batang dildo itu seirama. Antara perih dan nikmat yang aku rasakan.
Jeni semakin keras mengocok-ngocok batang dildo itu. Tiba-tiba tubuhku mengejang, nafasku bagai hilang. Dan sekali lagi lendir vaginaku keluar tapi kali ini disertai dengan darah. Setelah itu tubuhku pun melemas.
Air mataku meleleh, aku yakin perawanku telah hilang. Aku sudah tak pedulikan lagi sekelilingku. Sayup-sayup masih kudengar suara erangan Jeni yang masih memuaskan dirinya sendiri. Aku sudah lelah, lelah lahir batin. Hingga akhirnya yang kutemui hanya ruang gelap.
Esoknya aku terbangun diatas rajang besi yang asing bagiku. Disampingku selembar surat tergeletak dan beberapa lembar seratus ribuan. Ternyata Jeni meninggalkannya sebelum pergi. Dia tulis dalam suratnya permintaan maafnya atas kejadian kemarin sore.
Dan dia tulis juga bahwa dia takkan pernah kembali untuk menggangguku lagi. Aku pergi dari rumah kontrakan terkutuk itu seraya bertekad akan memendam petaka itu sendiri.